Tanggal Kadaluwarsa dan Kenapa di Banyak Produk Indonesia Label Tanggalnya Selalu Dicetak Kecil serta Ditempatkan di Bagian yang Sulit Dilihat (Bagian 4)
Sampai ke faktor terakhir yang menyatukan semua elemen yang kuketik dan kita bahas sebelumnya. Aku menemukan bahwa ternyata kerangka regulasi keterbacaan (legibility) di Indonesia. Secara signifikan memang lebih longgar dibandingkan dengan best practice global. Entah kenapa di bagian-bagian seperti ini, Indonesia sungguh suka sekali yang ringkas-ringkas ya, ehem.
Salah satu contoh betapa sukanya Indonesia dengan yang ringkas-ringkas, terwujud dari standar keterbacaan BPOM yang bersifat kualitatif dan subjektif. Mari kita perjelas dengan lebih baik, bersifat subjektif, dan bukan objektif.
Bukti sifat subjektif barusan tercermin di peraturan BPOM yang mengharuskan label “mudah dilihat dan dibaca” dan “jelas”. Sebenarnya terlepas dari betapa subjektifnya peraturan tersebut, standar ini telah sejalan dengan baseline global, Codex Alimentarius (CXS 1-1985) yang juga menggunakan bahasa kualitatif semacam. “Clear, prominent, indelible and readily egible” (jelas, menonjol, tidak terhapuskan, dan mudah dibaca)
Masalahnya adalah frasa yang dibawa negara kita tercinta, yaitu “mudah dibaca” sangat subjektif. Sehingga kalaupun demi lolos peraturan ini, cetakan 1 mm secara teknis sudah “dapat dibaca” oleh seseorang dengan penglihatan tajam dibawah pencahayaan yang baik.
Ketiadaan standar kualitatif yang objektif anggap saja misal ukuran font minimum ini, jelas sekali menciptakan celah regulasi. Akibatnya pelaku produksi dapat secara sah berargumen bahwa mereka telah mematuhi hukum, meskipun konsumen secara kolektif merasa frustasi. Selanjutnya penting juga dicatat bahwa BPOM secara eksplisit mengizinkan penempatan terpisah. Misalnya panduan BPOM memberikan contoh format yang sah semacam, “Baik digunakan sebelum : lihat bagian lain (belakang/samping/atas/bawah) kemasan.”
Membaca ini aku hanya bisa bilang, sangat membantu pelaku produksi sekali ya BPOM, dalam memenuhi kewajiban hukum mereka. Untuk konsumen aku sarankan banyak-banyak makan wortel aja biar penglihatannya tambah tajam. Nggak usah protes.
Pertanyaannya sekarang, adakah yang benar menerapkan standar kualitatif objektif mengenai label tanggal ini. Atau sebenarnya semuanya juga mirip Indonesia yang suka tipe ringkasringkas. Sehingga memang cuma pengetik aja yang gabut nyari-nyari kesalahan instansi pemerintah.
Oh tidak. Frustasi konsumen Indonesia atas aturan subjektif ini bukanlah kerjaan pengetik yang nyari-nyari kesalahan. Faktanya yurisdiksi lain telah mengatasinya secara langsung dengan lebih baik.
Mana?
Yurisdiksi ini ada di peraturan uni eropa yang dijadikan standar emas global untuk keterbacaan label. Namanya Food Information to Consumers (FIC) No 1169/2011. Dimana bahasa objektif mereka mengkuantifikasi keterbacaan seperti ini.
Pertama, regulasinya mengamanatkan bahwa semua informasi wajib harus dicetak dalam ukuran font dimana “x-height” (ketinggian huruf ‘x’ kecil) minimal 1.2 mm. Kedua, untuk kemasan yang sangat kecil (permukaan terbesar < 80 cm persegi) standar minimum yang diizinkan adalah x-height 0.9 mm. Ketiga, regulasi bahkan mendefinisikan “legibility” (keterbacaan” sebagai kombinasi dari berbagai elemen. Termasuk “font size, letter spacing, spacing between lines, stroke width, type colour… and significant contrast.”
Kabar baiknya walau Indonesia belum memiliki standar keterbacaan label sebaik ini. Setidaknya kita sebagai warga Indonesia bisa sedikit bernapas lega karena. Kita tidak sendirian jadi konsumen yang kesulitan lihat label tanggal.
Secara mengejutkan negara-negara maju macam AS dan Singapura, sebagian besar standarnya masih bersifat kualitatif mirip Indonesia. Jadi kalau dipikir-pikir ternyata kita tidak buruk-buruk amat. Walau yah AS masih memiliki aturan kuantitatif untuk peringatan yang lebih spesifik. Tapi yaudahlah ya, lha wong namanya mirip jadi ya anggap aja tetap mirip dan beda sedikit aja.
Kesimpulannya, alasan mengenai praktik pelabelan tanggal kadaluwarsa di Indonesia yang tampak membingungkan. Pada kenyataannya adalah hasil logis dan sebagian besar berasal dari kepatuhan hukum interaksi 3 kekuatan. Yaitu regulasi, teknologi, dan pemasaran yang saling mengunci. Walaupun pada akhirnya memang, sistem pelabelan di Indonesia saat ini sudah bisa dikatakan seimbang. Namun makna seimbangnya terlalu menonjol untuk mendukung efisiensi pelaku produksi dan demi kepatuhan regulasi minimal para pelaku tersebut. Dimana seringkali karena hanya faktor pelaku produksi saja yang dipikirkan. Membuat kenyamanan dan keterbacaan konsumen berakhir dikorbankan.
Posting Komentar