Kenapa Perusahaan Apple Masih Perkasa Aja Hingga Sekarang Bagian 4

Table of Contents

Sebelumnya aku baru saja membahas mengenai bagaimana Apple memaksimalkan ekosistem yang ditawarkannya. Sehingga jika sebelumnya mereka sangat bergantung dengan pendapatan dari sektor perangkat keras. Sekarang, di akhir tahun 2025 pendapatan yang didapat dari sektor ekosistem khususnya layanan. Berevolusi menjadi tulang punggung baru Apple, mengingat beberapa pasar perangkat keras Apple mengalami stagnasi pendapatan.

Namun yang jarang orang tahu, sebenarnya Apple tidak hanya menelurkan ide-ide baru atau sekedar merawat layanan mereka. Salah satu alasan mengapa ekosistem mereka sangat kuat memang termasuk 2 hal yang kusebutkan tadi. Tapi 1 hal lagi yang benar-benar mengunci para penggunanya supaya tidak keluar. Hal itu adalah trik psikologis yang mereka praktekkan dalam layanan berbayar mereka.

Jadi begini. Di layanan yang disediakan Apple bagi penggunanya, layanan tersebut dibagi menjadi 2. Pertama adalah layanan atau barang digital dengan biaya marjinal rendah. Kedua barang digital dengan biaya akuisisi tinggi. Barang digital dengan biaya marjinal rendah contohnya adalah iCloud, Arcade, dan News+. Sementara barang digital berbiaya akuisisi tinggi adalah TV+ dan Music.

Karena mungkin bahasa biaya marjinal dan biaya akuisisi tinggi terlalu teknis. Maka sebelum ke trik psikologis Apple, kita akan bedah dulu 2 bahasa itu hingga bisa mudah dimengerti.

Produk atau barang digital berbiaya marjinal rendah, kita bisa sebut sebagai barang yang murah dan mudah untuk digandakan oleh Apple. Misalnya di iCloud, Apple hampir tidak mengeluarkan biaya tambahan lagi untuk memberiku ruang 50 sampai 100 Gb. Kenapa Apple tidak perlu mengeluarkan biaya lagi? Karena dalam penyimpanan cloud atau bisa juga disebut penyimpanan awan. Apple sudah modal diawal berupa server. Jadi selama servernya ada, Apple benar-benar bisa sangat menekan pengeluaran di bagian itu hingga hampir nol.

Sementara barang digital berbiaya akuisisi tinggi, kita bisa sebut sebagai produk mahal. Kenapa bisa mahal? Alasannya karena di layanan itu. Yang didalamnya adalah layanan musik dan TV+. Apple harus membayar royalti lagu lah, membayar aktor mahal, stradara mahal, dan hal-hal mahal lain yang sejenis.

Nah trik psikologis yang dimainkan Apple di layanan yang mendukung ekosistem ini, adalah melakukan bundling. Mudahnya Apple memaketkan barang digital berbiaya rendah dan barang digital berbiaya akuisisi tinggi jadi 1. Namun walaupun mereka memaketkan 2 jenis layanan barusan jadi paket Apple One. Mereka pun memberikan opsi untuk menikmati layanan terpisah. Misalnya seperti kalau aku hanya butuh tontonan di Apple, aku bisa hanya berlangganan mandiri Apple TV+

Dari penjelasanku barusan, mungkin apa yang dilakukan Apple masih tergolong biasa saja. Tapi kalau kita telaah lebih dalam soal harga paket Apple One dan fitur berlangganan mandiri 1 layanan. Maka kita akan mengerti bagaimana trik psikologisnya bekerja.

Begini, Jauh sebelum bahasan Apple mengutak atik sektor layanannya ini. Kita sudah tahu betapa ekosistem Apple benar-benar sudah berdiri dengan kokoh, apalagi kalau kita berbicara di perangkat kerasnya. Kita bisa beralih dengan mulus dan tidak ribet dari IPhone ke Mac ke Ipad dan seterusnya.

Saat sudah mulai fokus di sektor layanannya kita pun sudah tahu bahwa disana ada barang digital murah diproduksi dan barang digital yang mahal. Apple memainkan trik psikologis dengan membuat langganan bundlingnya terasa lebih murah, dibandingkan langganan 1 layanan mandirinya.

Analogi sederhananya, kita akan anggap Apple itu sebuah warung tendaan. Di warung tendaan Apple, ada menu daging sapi tendaan yang dijual Rp 50000 per porsi. Kita anggap daging barusan adalah barang mahalnya Apple, karena daging sapi jelas mahal walau kualitasnya untuk makanan jalanan sekalipun. Namun disisi lain di warung tendaan Apple, ada barang murahnya juga. Barang murahnya ada nasi seharga Rp 5000 sebungkus, air putih Rp 2000, dan es teh Rp 6000.

Anggap saja aku tadi hanya butuh tontonan yang disuguhkan Apple. Jadinya aku hanya langganan 1 layanan yaitu Apple TV+. Di analogi warung barusan, berarti aku hanya beli menu daging sapi seharga Rp 50000. Saat aku butuh hal lain misalnya layanan cloud penyimpanan awan untuk file kerjaan. Yang dalam analogi warung berarti aku butuh es teh untuk diminum karena seret. Aku beli produknya lagi yang dijual murah yaitu es teh seharga Rp 6000.

Dari sini kita akan mendapat makanan yang kubeli totalnya adalah Rp 56000.

Kemudian, waktu aku duduk santai sambil nunggu makanan yang kumakan dicerna perut. Tiba-tiba ada pembeli yang tahu bahwa di warung tendaan itu ternyata menjual paket komplit. Di paket komplitnya, pembeli lain barusan mendapat menu daging sapi, air putih, nasi, dan es teh dengan hanya membayar Rp 58000. Padahal kalau beli satu persatu harusnya pembeli lain itu mengeluarkan uang Rp 63000. Tapi karena beli paket komplit, ia hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp 58000. Dan dia makan paket komplit itu sambil cengar cengir kearahku karena merasa menang banyak. Dan akhir ceritanya, paket komplit itulah paket Apple one.

Pertanyaannya apakah Apple rugi menjual paket komplit Apple One dengan hanya Rp 58000. Padahal disana sudah komplit daging, nasi, es teh, dan air. Jawabannya adalah tidak.

Kenapa?

Karena nasinya berasal dari beras yang paling murah sendiri, airnya isi ulang yang harganya Rp2000 segalon, dan tehnya adalah teh murah, yang masih saja diencerkan dengan gula supaya lebih hemat. Jika dibandingkan kalau buat es teh dengan cara umum dan mainstream.

Secara teknis, anggap saja Apple sudah impas kalau air putihnya dijual Rp500, es teh Rp 2000, dan nasinya Rp 2000 karena mudah didapatkan dan mudah dibuatnya. Namun Apple menjual paket komplit barusan seharga Rp 58000. Yang dimana mengesampingkan untung olahan daging sapinya yang dijual Rp 50000. Apple masih untung Rp 3500 dari paket komplit yang dikira pembeli lain tadi terlalu murah.

Walaupun dari analogi sebelumnya kita tahu kalau Apple sudah untung banyak. Namun Apple masih berusaha lagi cari celah. Caranya, pada Agustus 2025 Apple resmi menaikkan harga layanan Apple TV+. Dengan kata lain Apple meningkatkan harga olahan daging sapinya dari Rp 50000 jadi Rp 52000. Tapi walau harga olahan daging sapinya naik, paket komplitnya tetap sama yaitu Rp 58000. Kejadian di bulan Agustus ini jelas membuat paket komplit Apple One jauh lebih menarik. Karena jelas paket tersebut menawarkan. penghematan hingga hampir 11% ya. Yang dalam kasus perusahaan Apple, kenaikan harga langganan Apple TV+. Menawarkan penghematan hingga 43%.

Selain itu paket Apple One yang telah menjadi kunci strategi retensi Apple. Yang telah dijelaskan secara artifisial menurunkan biaya yang dirasakan untuk tetap berada didalam Ekosistem. Juga menaikkan biaya peralihan atau switching costs bagi pengguna Apple. Biaya peralihan ini bukan dalam bentuk yang jelas seperti permisalan sebelumnya. Namun ini lebih mudahnya disebut biaya ribet. Karena kalau misalnya bulan ini aku berlangganan Apple One. Lalu bulan depan ingin pindah ke android aku akan pusing. Alasannya ya karena aku sudah terlanjur nyimpen foto di iCloud, list lagu-lagu kesukaanku akan hilang kalau aku pindah, dan film atau seri yang belum sempat kutamatkan juga akan lenyap.

Oleh karena matangnya desain dari paket Apple One ini. Hingga data dari akhir tahun 2025 menunjukkan bahwa strategi bundling Apple, secara efektif menekan tingkat churn atau pembatalan pelanggan. Buktinya tingkat churn Apple TV+ hanya kalah dari Netflix yang berada di tingkat churn 2,0%. Dan cukup kompetitif dengan Disney+, bahkan lebih rendah dari HBO Max dan Starz. Untuk Apple Music, mereka mempertahankan pelanggan lebih dari 60% pasca uji coba. Sementara iPhone memimpin di angka 92% dalam mempertahankan pelanggan. Ini berarti kalau kita pahami di bagian iPhone nya saja, Apple benar-benar bisa meyakinkan 92 dari 100 orang pengguna mereka, untuk membeli iPhone lagi kalau-kalau iPhone lama mereka rusak atau hilang. Gila sih ini perusahaan kalau dipikir-pikir. Mereka bisa mempertahankan pelanggan lama dengan presentase segitu tingginya.

Masih di layanan ekosistem, App Store atau bisa kita sebut sebagai play storenya Apple. Tidak ketinggalan memfasilitasi aktivitas ekonomi besar-besaran, dengan menghasilkan hampir $1,3 triliun dalam penagihan dan penjualan pada tahun 2024. Angka ini terus saja tumbuh pada tahun 2025.

Walau menghadapi tekanan dari Digital Markets Act (DMA) di Uni Eropa. Yang memaksa Apple untuk mengizinkan pasar aplikasi alternatif. Sehingga mengurangi pendapatan dari App Store. Investasinya yang luar biasa di bidang layanan, memberikan penyangga terhadap erosi berkat regulasi App Store. Contoh lainnya dari pertumbuhan pendapatan sektor layanan. Terlihat dari penggunaan Apple Pay yang naik 18% secara global pada tahun 2025, dengan hampir 60% pengguna iPhone AS terlibat dengan layanan Apple Pay setiap minggunya.


Sebelumnya

Selanjutnya

Posting Komentar